JAKARTA. Sengketa PT Megasurya Mas melawan PT Symrise,
produsen parfum asal Jerman, semakin seru. Megasurya tetap menginginkan
sengketa ini diselesaikan lewat Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Megasurya membantah dalil-dalil dari Symrise bahwa Singapore
International Arbitration Center (SIAC) yang berhak menyelesaikan
sengketa jual beli bahan parfum kedua perusahaan tersebut.
Kuasa hukum Megasurya, Romulo Silaen, mengatakan, eksepsi tiga
perusahaan Symrise, yakni PT Symrise (Indonesia), PT Symrise Asia
Pacific (Singapura), dan Symrise AG (Jerman), yang meminta perselisihan
diselesaikan lewat SIAC, tidak mempunyai dasar hukum. "Tidak ada
perjanjian yang mengatur hal itu," ujarnya, kemarin.
Sebelumnya, Symrise menyatakan, dokumen jual beli bahan parfum antara
Megasurya dan Symrise menetapkan setiap perselisihan harus diselesaikan
di Badan Arbitrase Singapura. Dokumen perjanjian ini juga menetapkan
peraturan Singapore International Arbitration Center (SIAC) sebagai
acuan penyelesaian setiap sengketa.
Tapi, Romulo menilai invoice tersebut itu tak bisa dianggap sebagai
perjanjian jual beli. "Invoice itu hanya nota pembelian," tandasnya.
Apalagi invoice itu hanya dibuat oleh Symrise sebagai pengirim barang.
Padahal yang bisa dianggap sebagai perjanjian itu adalah surat
kesepakatan yang dibuat oleh penjual dan pembeli.
Adapun kuasa hukum PT Symrise dan Symrise AG, Insan Budi Maulana,
menyatakan bahwa perkara yang sama masih berlangsung dan ditangani oleh
SIAC. Jadi, SIAC yang lebih berhak menyelesaikan sengketa ini "Sudah
kami sampaikan dalam bukti eksepsi kami," ujar Insan.
Kuasa hukum Symrise Asia Pacific, Defrizal Djamaris, juga menyatakan
bukti-bukti yang ada menunjukkan PN Jakarta Selatan tidak berhak
menangani kasus ini.
Sengketa ini bermula dari klaim Megasurya yang menyatakan Symrise
terlambat mengirim bahan parfum untuk bahan dasar pembuatan sabun yang
diproduksi anak usaha Musim Mas Group tersebut. Tanpa alasan yang jelas,
pengiriman parfum mengalami keterlambatan selama periode Januari 2010
hingga Juni 2010. Akibat keterlambatan itu, Megasurya mengaku merugi,
lalu menuntut ganti rugi materiil sebesar US$ 11,87 juta.